Extra Chapter - Bandara (a+) - PDFCOFFEE.COM (2024)

Bandara Ada sebuah ritme yang terdengar setiap kali ujung sol sepatu Kai mengetuk permukaan lantai bandar udara. Ritme yang akan membuat orang lain menyimpulkan gadis itu sedang gugup menanti kedatangan seseorang. Kalau boleh jujur, Kai tidak ingin siapapun datang. Akan menyenangkan kalau ternyata dia salah lihat tanggal dan hari ini bukan hari itu. Bukan hari keberangkatan pesawat Garuda Indonesia tujuan Singapura. “Lo udah siap?” Kai baru mendongak ketika laki-laki yang duduk di sebelahnya bertanya. Bandara pukul empat pagi dingin. Kai merapatkan jaketnya. “Siap apa? Kan, bukan gue yang berangkat.” “Justru itu. Lo udah siap ngeliat dia berangkat?” “KAN! DI SANA! APA GUE BILANG?! COBA KALAU GUE NGIKUTIN KATA LO TADI, UDAH NYASAR KITA!” Belum sempat Kai menjawab, keributan dari arah lain sudah membuat atensinya teralih. Io yang tadi bertanya, mendengkus geli. Mungkin karena laki-laki itu tidak pernah terbiasa dengan betapa ajaib teman-teman Kai. Ale dan Kenan melangkah mendekat sembari terus berdebat—yang satu ngomelngomel dan yang satu lagi ngotot mempertahankan argumen. Keduanya baru berhenti ketika sampai di hadapan Io dan Kai. “Eh, gue taruhan ceban sama Kenan,” cengir Ale sembari duduk di sebelah Kai. Gadis yang diajak bicara mengerutkan kening. “Taruhan apa?” “Taruhan hari ini lo nangis atau nggak.” Io tergelak. Kenan nyengir bersalah. Kai merengut. “Dia belum dateng?” Pertanyaan Kenan ditanggapi gelengan. “Aurora mana?” Ganti Ale yang bertanya, spesifik pada Io. Io mengerjap. “Nggak tahu. Di jalan, kayaknya.”

Ale menyipitkan mata. “Kenapa nggak lo jemput, Bang?” Io menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Kai mengulum senyum, sebelum akhirnya memutuskan untuk menyeletuk, “Soalnya tadi pagi Io mau ambil cincin.” “AMBIL APA?!” Kenan dan Ale mengulang kaget bersamaan. “Dih. Cepu lo,” protes Io pada Kai sebelum merogoh saku jeans dan mengeluarkan kotak beludru warna putih. “ANJ—” “SSSTTT!” Kenan membekap mulut Ale sebelum gadis itu sempat mengumpat keraskeras. Keduanya terpana. “Lo mau ngelamar, Bang? HAH? Serius, nih?” “Kenapa lo berdua yang heboh, deh?” tawa Io. “Nggak ngelamar. Ngasih doang.” Alis Ale melonjak tinggi. “Maksud lo?” “Maksudnya biar ntar Aurora nggak pacaran sama bule, lah. Lemot,” seloroh Kenan. Ale menoleh dan mencebik, sebelum kembali menatap kotak beludru itu. Senyumnya sedikit terangkat. “Mau liat dong, Bang.” “Enak aja. Nggak ada, nggak ada.” Io kembali menyelusupkannya ke kantong, membuat Ale merengut. “Gue aja nggak boleh liat,” dengkus Kai sebal. “Katanya yang boleh liat cuma tuan putrinya.” “Ya emang.” “Bucin lo.” “Siapa yang bucin?” Keempat orang yang duduk berjajar itu refleks menegakkan tubuh begitu mendengar suara dari belakang. Io menelan ludah waktu mendapati Aurora yang berdiri di sana, kedua lengan terlipat di depan dada. “Eh, sejak kapan lo berdiri di situ, Ra?” tawa Io gugup. “Sejak lo ngomongin soal bucin.” “Itu si Kenan!” sambar Ale. “Bucin banget dia, nih!”

“Iya, iya, gue bucin parah!” timpal Kenan otomatis. “Gila!” Kai berusaha menahan tawa sem*ntara alis Aurora terangkat sebelah. “Bucin sama siapa? Emangnya kalian berdua udah jadian?” “Udah.” “Belum.” “Hah?” “Hah? Apa?” Ale melempar tatap tidak setuju pada Kenan. “Kok lo bilang kita jadian?!” “Lah?” Kenan bingung. “Emangnya nggak?” “Lo aja nggak nembak gue!” “Oh, lo mau ditembak?” “APAAN, SIH, KEN!?” “LAH, KAN LO YANG BILANG—" “DIEM.” “Ya udah, Le, lo mau nggak, jadi—” “GUE BILANG DIEEEMMM!” Tawa Aurora, Kai, dan Io segera saja pecah. Kenan nyengir dan merangkul leher Ale, meski gadis itu memberontak kesal. Aurora akhirnya duduk di spasi kosong sebelah Io. Kai, Ale, dan Kenan bertukar pandang penuh arti. “Eh, Al, anterin gue ke toilet, yuk.” Kai berdiri dan menarik tangan Ale. “Gue juga sekalian, deh.” Kenan mengikuti. Ketiganya berjalan menjauh di belakang punggung Aurora dan mengangkat kepalan tangan ke atas dengan gestur ‘SEMANGAT!’ ke arah Io. Laki-laki itu melempar tatap maut. Setelah beberapa meter, tiga remaja itu akhirnya tertawa setengah puas setengah cemas. Gila, Aurora yang mau diberi cincin, mereka yang ikut dag-dig-dug sendiri.

Jujur saja, Kai tidak pernah terpikir Io—si playboy cap kodok itu—pada akhirnya akan melabuhkan hati dengan serius. Apalagi pada Aurora. Balerina yang akan berangkat ke New York esok pagi. Tapi, sepertinya hidup ini memang penuh kejutan. Termasuk ketika seorang laki-laki dengan dua koper muncul dari tikungan. Tatap mereka berjumpa di udara. Kai sudah menyiapkan dirinya semalaman untuk momen ini, tapi rasanya dia tidak akan pernah siap. Ini konyol, karena Jakarta-Singapura cuma berjarak dua jam naik pesawat. Selisih waktunya saja hanya satu jam. Kai juga tahu mereka berdua bisa memanfaatkan sejuta teknologi untuk bertukar kabar—tapi tetap saja, tetap saja… “Hai.” …Re mau pergi. Kai menelan ludah, tidak mampu mengeluarkan barang sepatah dua patah kata dari tenggorokan untuk balas menyapa. Justru Ale dan Kenan yang berbasa-basi sebentar, memastikan tidak ada barang yang tertinggal, bergurau soal Io-Aurora yang saat ini mungkin sedang ada di tengah adegan romantis dan Re sebaiknya tidak menginterupsi. Beberapa menit berlalu, sampai akhirnya mereka menyadari Kai masih diam saja. Ale dan Kenan memberi kode lewat tatapan mata. “Eh, Ken, kayaknya HP gue ketinggalan di mobil.” “Oh, ya udah gue anterin ambil. Bentar, yak.” Ketika Ale dan Kenan akhirnya menjauh, menyisakan Kai dan Re sendirian di lorong bandara, rasa menyesakkan di dada Kai malah semakin nyata. “S-sorry.” Gadis itu menggeleng, berusaha menjernihkan pikiran. Re tidak menjawab. Hanya jemarinya yang bergerak menyentuh dagu Kai, menengadahkan kepala gadis itu yang tadinya menunduk. Netra co*kelat gelap menubruk hitam. Kai segera mengalihkan wajah. Dia tidak bisa menatap Re. Dia tidak bisa menatap alisnya yang tebal, matanya yang tajam, hidungnya yang mancung, rahangnya yang tegas, dan senyumnya yang selalu terkesan arogan. “Kai…”

Air mata Kai resmi merebak waktu Re menariknya ke dalam pelukan. Lengan Kai bergerak melingkari pinggang Re dengan erat, seolah dia tidak akan pernah rela melepaskannya. Seolah dia ingin menahan kepergian Re lebih lama, seolah dia ingin menyuruh laki-laki itu tetap di sini saja. Jangan ke mana-mana. Jangan pergi lagi. Tapi, sekarang Kai sudah belajar bagaimana dunia tidak berputar di sekelilingnya. Sekarang Kai sudah belajar bagaimana cara menjadi manusia yang lebih—kalau tidak dewasa, maka setidaknya bijaksana. Jadi, gadis itu hanya menangis, menangis karena kata Mama itu salah satu hal yang memanusiakan. “Prolaktin.” Kai melonggarkan pelukannya dan mengusap air mata. “Gue nangis karena hormon prolaktin cewek lebih banyak enam puluh persen dari cowok, jadi—” Re tertawa. Tawanya terdengar begitu ringan, tanpa beban, dan hangat. Kai ingin selamanya mendengar tawa itu. “Jadi lo nggak cengeng,” angguk Re, tersenyum dan menyisipkan anak rambut Kai yang lolos ke belakang telinga. “Itu cuma efek hormonal.” Dialog-dialog kecil mereka tidak akan pernah lekang dari ingatan, Kai yakin. Sejauh apa pun jaraknya, selama apa pun jangka waktunya, malam di atap rumah sakit itu tidak akan pernah terlupakan. Begitu pula dengan dialog-dialog kecil di halte, di parkiran, di sofa ruang tamu, di lobi kantor polisi, di seluruh sudut Jakarta yang nantinya akan Kai kunjungi sendiri karena Re tidak ada di sini. “Gue sayang sama lo.” Kali ini, Re yang mengatakannya. Dan mungkin, karena Kai rasa (dan percaya) mereka memang ditakdirkan untuk satu sama lain, gadis itu berjinjit, mengalungkan kedua lengan di sekeliling leher Re, dan berhenti persis satu senti di depan wajah laki-laki itu, tersenyum dengan cara yang dia tahu akan membuat Re gila— “Balikan, yuk.” Sekali ini, Re membendung seluruh oksitosin dalam aliran darahnya dan mengangkat sudut bibir. “Lo mau gue jawab, atau gue cium?” Kai menantang. “Dua-duanya.”

“Gue yakin gue menang, sih. Nggak mungkin Kai nggak nangis.” “Ck, jahat bener, sih, lo,” tawa Kenan. “Gue kalau jadi dia juga nangis, kali.” Ale mengangkat alis. “Berarti kalau gue berangkat nanti, lo juga bakal nangis?” Kenan tersenyum simpul. Keduanya kini sedang berdiri di sisi lain bandara, mengawasi lapangan udara dari balik dinding kaca. Mereka sepakat memberi waktu Kai dan Re bicara empat mata, begitu pula Io dan Aurora. “Nggak, lah. Ngapain gue nangis,” balas Kenan asal, memicu kerucut di bibir Ale. “Kan, gue juga berangkat.” Ale menoleh cepat. “Gimana?” “Lo udah tahu SNMPTN gue ditolak, kan?” Kenan mengangkat bahu. “Dan karena gue dapet beasiswa tahunan Bina Indonesia, gue jadi mikir-mikir kampus luar negeri mana yang bagus, terus—” “Stop.” Ale mundur. “Stop, stop di situ.” Kenan tertawa. “Terus Teknik Kimia SNU masuk top 5 Asia—” “TAPI LO BISA MILIH KAMPUS YANG LEBIH BAGUS LAGI!” “Tapi nggak ada lo, Ale. Gue nggak bisa kalau nggak ada lo.” Ale membisikkan sederet sumpah serapah persis ketika air matanya jatuh dan gadis itu menghambur memeluk Kenan. Kenan tersenyum lebar. Tidak ada yang mengatakannya, tapi laki-laki itu tahu seberat apa perasaan Ale ketika menyadari dia harus berpisah dengan Kenan demi mengejar mimpi. Ale memang tidak pernah bilang, tapi Kenan paham. “Lo masih mau gue tembak, nggak?” Ale tertawa konyol dalam pelukannya. “Bego.” “Mau, nggaaak?” “Nggak usah.” “Yakin?” ledek Kenan lagi. Gadis rambut ungu itu mengangguk, sebelum mundur dan menatap Kenan. “Apa yang lo lakuin buat gue selalu lebih berarti daripada kata-kata.” Senyumnya terulas. “Makasih, Ken.”

Kenan balas tersenyum. “Tapi ada syaratnya.” Kening Ale berkerut. “Apa?” “Mulai sekarang lo panggil gue Kenan-oppa.” Tawa Ale sekali lagi pecah ketika dia berjinjit untuk kembali memeluk Kenan. “Dasar aneh.” “Aneh tapi lo sayang?” “Aneh tapi gue sayang.” Butuh waktu cukup lama untuk Kenan menyadari bahwa dia jatuh cinta pada tetangga delapan belas tahunnya, dan butuh waktu lebih lama lagi untuk membuatnya berani melepaskan label sahabat yang sejak dulu tertera. Bukannya laki-laki itu takut jarak dan waktu akan mengubah perasaan mereka, tapi persetan, Kenan akan mengejar ke mana pun kaki Ale berjalan. Karena asal mereka berdua bersama-sama, Kenan lebih dari tahu bahwa segalanya akan baik-baik saja. Ya, kan? “Mama sibuk banget sekarang, ngurusin perusahaan sendirian. Gue jadi nggak tega mau pergi.” “Nanti gue yang bantuin Mama, deh.” “Dih.” Aurora tertawa lepas. “Sokab lo, manggil-manggil Mama.” Io ikut tertawa. Pandangannya jatuh pada gadis—coret, malaikat—di sampingnya, dan bibirnya melengkung ke atas. “Lo cantik hari ini.” Aurora memutar mata sebagai respons. “Lo selalu bilang gue cantik, tahu? Emangnya di mata lo gue nggak ada kualitas lain, ya?” Io refleks mengerjap. Dia baru menyadarinya ketika Aurora yang menyimpulkan. Iya juga, ya? Mungkin sudah jutaan kali Io memuji balerina itu cantik. Tapi, come on. Lihat lengkung kecil di bulu matanya. Lekuk samar di tulang pipinya. Atau lupakan soal wajah, bagaimana dengan ujung selangka yang sedikit menonjol? Jeans yang terlalu besar untuk melingkari pinggang? Plester di sekitar pergelangan kaki karena luka-luka latihan?

Belum saja Io mulai bicara soal co*kelat gelap yang diikat asal ke atas tengkuk tapi helaihelainya tetap jatuh, seolah sedang balapan liar melawan anting-anting perak menjuntai dari telinga untuk mencapai pundak yang nyaris terpapar suhu rendah Jakarta karena atasan offshoulder marun di balik mantel broken white yang— “Kak?” Atau mungkin, matanya? Tatap yang selalu membuat Io menerka-nerka apa isi kepala— hei, bagaimana dengan isi kepalanya? Perfeksionitas macam apa yang membuat si pemilik kepala dibanting tidak pecah, digagalkan tidak menyerah, disudutkan tidak pasrah? “Oke, sekarang lo bikin gue takut. Lo nggak apa-apa?” Coba tanya ahli bahasa, deh, kata apa yang coco*k selain cantik? Io tidak bisa menemukannya. “Sorry, sorry. Abis terpesona.” “Ck! Kak!” Dan mungkin, yang akan paling Io rindukan nanti, adalah marah-marah khas Aurora. Laki-laki itu tersenyum kecil, menggamit tangan kiri si balerina dan menyelusupkan jemari ke sela-selanya. “Gue seneng, deh. Lo akhirnya bisa beneran ngejar mimpi lo.” Aurora menatap tangannya yang digenggam. “Ini gombal lagi atau apa?” Io tertawa. “Nggak semua omongan gue gombal, kali.” Gadis itu akhirnya tersenyum. “Gue juga seneng. Gue bisa mulai semuanya dari awal lagi.” “Dari awal lagi?” Aurora mengangguk. “Di New York nanti, maksudnya. Nggak ada, tuh, yang tahu gue as Aurora Calista. Gue bisa jadi siapa pun yang gue mau. Nggak ada ekspektasi, nggak ada tuntutan, nggak ada embel-embel ‘anak tunggal Antonio Wimana’.” Terdengar hela napas lega seiring Aurora menyandarkan kepalanya ke pundak Io. “Kata Mama dia mungkin udah nyiptain bisnis baru sekarang. Di negara lain, pake identitas lain. Gue bilang Mama ngaco, tapi itu kedengeran kayak dia banget,” tawanya, sebelum mendongak dan menatap Io. “Salah, nggak, sih, Kak, kalau gue berharap dia jadi buronan aja selamanya?”

Io berpikir sebentar. “Dulu gue bakal bilang salah. Sekarang gue bakal bilang, dunia ini nggak murni terbagi ke dalam benar dan salah.” Aurora tersenyum sedikit. “Gue tahu lo ngomong gitu karena gue yang nanya.” Io tertawa. “Nggak, nggak, serius. Kalau itu gue, gue juga bakal berharap hal yang sama, kok.” Aurora mendongak lagi. Keduanya saling tatap. Sebelum akhirnya si balerina menarik diri dan melipat kedua lengan di dada. “Jadi, kapan lo mau ngasih gue cincin itu?” Mata Io membulat. “EH! LO DENGER, YA, TADI?” Aurora mengerucutkan bibir. “Gue tunggu-tungguin, lama banget.” Io tertawa geli. Jemarinya merogoh saku, memperlihatkan kotak beludru putih itu pada Aurora, tanpa dibuka. “Sebenernya tadi gue berubah pikiran, makanya nggak gue kasih.” Aurora langsung menyipitkan mata, tubuhnya ditegakkan. “Berubah pikiran gimana?” Io tersenyum melihat gestur tidak terima itu. “Ya… on second thought, gue mau lo lebih bebas ngejar mimpi lo aja. Bebas jadi siapapun yang lo mau, kayak kata lo tadi.” Dan ketika Aurora tampak tidak mengerti, Io melanjutkan, “Gue nggak mau ada sesuatu yang bikin sayap lo berat buat terbang tinggi, Ra. Gue nggak mau cincin ini jadi beban yang nahan lo di daratan. Gue nggak mau jadi orang yang bikin lo mikir dua kali buat bikin keputusan. Tadinya gue mikir, karena selama ini hidup lo selalu punya batasan dan tujuan, lo butuh kepastian dan ikatan. Tapi, gue rasa lo nggak butuh itu. Lo butuh terbang. Dan gue mau liat lo terbang.” Aurora terdiam. Tatapannya bolak-balik beralih dari kotak beludru itu kepada pemiliknya. “Lo… nggak takut kehilangan gue, Kak?” “Takut, lah,” tawa Io lepas. “Tapi, hidup nggak bakalan seru kalau tanpa rasa takut, kan?” Senyum Aurora refleks mengembang. Di antara sekian banyak hal yang mungkin dilakukan oleh seseorang dalam menyikapi perpisahan, Io memilih melepaskan. Bukan untuk orang lain, bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk Aurora sendiri. Mungkin itu yang membuat si balerina mencondongkan tubuh dan akhirnya mengecup singkat pipi kiri si alumni.

“Gue jatuh cinta sama lo, Kak.” Io kelihatan terkejut, sebelum tertawa setengah tersipu. “Yang kanan nggak sekalian, Ra?” “Yang kanan tunggu gue pulang nanti.” Tatap keduanya bertemu sekali lagi. “Have fun.” “You too.” “Take care, ya.” “Salam buat Jo.” “Awas aja lo selingkuhin adek gue, gue tonjok lagi ntar.” Ucapan-ucapan perpisahan datang silih berganti dari lima orang yang mengantar kepergian Re. Laki-laki itu tidak berhenti tersenyum dan mengiyakan setiap wejangan yang dia dapat. Ayahnya sudah berangkat lebih dulu bersama Jo bulan lalu, dan setelah membereskan segala urusan tentang SMA Bina Indonesia (dibantu beberapa anggota dewan yang masih waras), Re akhirnya terbebas dari segala tanggung jawab—meski kasus Ibunya masih dalam proses pengadilan, jadi dia sudah pasti akan pulang dalam beberapa bulan lagi. Lagi pula, pacarnya masih di sini. “Kalau udah sampe sana, kabarin.” “Iya.” “Nanti malem call.” “Iya.” “Bulan depan pulang, kan?” “Iya.” Kai memeluk pinggang Re sekali lagi, mengubur wajah pada kaus laki-laki itu, menghirup aroma favoritnya lama-lama. Nikotin dan mint. “Udah kali, Kai. Adegan bandara AADC aja nggak selama ini.”

Kai melepas pelukannya dan menekuk alis sebal ke arah Ale. “Diem, deh, lo! Mentangmentang disusulin Kenan ke Korea!” “Eh, santai, dong!” Ale tertawa. “Sini, sini, peluk gue aja. Itu lo nggak denger, tuh, boarding announcement udah tiga kali?” Kai memeluk Ale masih dengan sebal, memicu tawa teman-temannya yang lain. “Gue males banget ditinggal sendiri…” “Kan, ada gue, nyet. Lo nggak nganggep gue, nih?” seloroh Io. “Kan, lo bentar lagi juga balik ke Bandung!” Kai menyandarkan kepalanya ke pundak Ale dan mengomel pada kakak sepupunya. “Abis itu gue bakal sendirian…” “Nggak, nggak! Nanti kita video call berenam tiap hari.” “Nggak usah tiap hari juga!” “YA ELAH RIBET BANGET, SIH, LO!” Semua tertawa. Kai ikut tertawa, meski akhirnya air matanya lolos juga. “IHHH, GUE BENERAN SEDIHHHH!” Aurora jadi yang pertama melangkah maju dan ikut memeluk gadis ekor kuda itu. Kemudian, perlahan-lahan diikuti oleh yang lainnya. “Kita nggak akan bisa ada di titik ini tanpa lo, Kai.” Ucapan Aurora disetujui oleh lima anggukan. Pelukan itu dieratkan. “Jadi, kita semua percaya, di mana pun lo berada, lo bakal jadi malaikat buat orangorang di sekitar lo. Sama kayak lo jadi malaikat buat kita berlima,” tambah Kenan. “Tuh, dengerin,” timpal Ale. “Kita nggak mungkin ninggalin lo, karena lo ibaratnya orang terpenting dalam hidup kita, nih.” “Nggak sehiperbola itu, sih, tapi gue setuju.” “Bacot lo, Bang.” “Eh, lo yang kalem dikit napa sama calon kakak ipar?” “Iya kalau Aurora empat tahun lagi masih mau sama lo.”

“Tau, tuh, PD gila.” Terdengar tawa beriringan. “Intinya.” Re akhirnya berpesan, “Tetep jadi Kai yang kita sayang, ya.” Jelas, kalimat-kalimat itu tidak meredakan tangis Kai, justru membuatnya semakin pecah. Tapi, setidaknya, ketika penerbangan pertama pagi itu akhirnya lepas landas ke angkasa, meski sambil berlinang air mata, dia sudah bisa berdiri tegap dan menatap tegar ke luar dinding kaca di koridor bandar udara. Karena Kai sadar, setelah melewati segalanya bersama-sama, perpisahan ini sama sekali bukan apa-apa. Mereka siap untuk badai selanjutnya.

Extra Chapter - Bandara (a+) - PDFCOFFEE.COM (2024)

References

Top Articles
Latest Posts
Article information

Author: Margart Wisoky

Last Updated:

Views: 5859

Rating: 4.8 / 5 (78 voted)

Reviews: 93% of readers found this page helpful

Author information

Name: Margart Wisoky

Birthday: 1993-05-13

Address: 2113 Abernathy Knoll, New Tamerafurt, CT 66893-2169

Phone: +25815234346805

Job: Central Developer

Hobby: Machining, Pottery, Rafting, Cosplaying, Jogging, Taekwondo, Scouting

Introduction: My name is Margart Wisoky, I am a gorgeous, shiny, successful, beautiful, adventurous, excited, pleasant person who loves writing and wants to share my knowledge and understanding with you.