Kebenaran Tak terasa Ujian Nasional yang paling dikhawatirkan banyak siswa telah terlewati. Kini, Dika tengah menunggu Alysha menyelesaikan ujiannya. Sudah hampir setengah jam lelaki itu duduk diam di atas motor. Sampai akhirnya, ia melihat beberapa orang mulai berjalan keluar dari gedung di depannya. Tubuh Dika menegak kala netra co*kelatnya menangkap seorang gadis yang sedang berjalan dengan gontai ke arahnya. “Gimana?” tanya Dika saat gadis itu sudah berdiri di hadapannya. Alysha mendongak sambil memasang wajah memelas. Lalu ia menggeleng pelan dengan raut penuh kekhawatiran. “Aaa... gue takut banget. Gimana kalau hasilnya nggak sesuai harapan?” tanya gadis itu gelisah. “Tenang aja, yang penting lo udah berusaha. Hasil itu akan mengikuti seberapa besar usaha kita,” timpal Dika menenangkan. “Ya udah, cepetan naik,” titahnya pada Alysha. Akhirnya, mereka mulai pergi meninggalkan tempat tersebut seiring dengan motor Dika yang melaju sedang. Keduanya memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar, seraya menyegarkan kepala mereka setelah beberapa hari belakangan dipusingkan dengan soal-soal ujian. Mereka pun tiba di sebuah pusat perbelanjaan. Berjalan mengitari mall tersebut, dengan mata yang sesekali melirik ke sekitar, memperhatikan setiap toko yang mereka lewati. Tak jarang pula, Alysha melihat beberapa orang yang memperhatikan mereka. Atau lebih tepatnya, memandangi lelaki yang berjalan di sampingnya ini, membuat Alysha memutar mata jengah. Keduanya berhenti di sebuah tempat yang menyajikan aneka menu dessert dan memesan dua porsi ice cream. Kemudian, mulai menikmatinya dalam hening. Tak tahu pembahasan apa yang bisa mereka bicarakan. “Udah ini, kita ke mana lagi?” tanya Dika memecah keheningan. Alysha terlihat berpikir sejenak, memikirkan tujuan mereka selanjutnya. Lalu, ia menggeleng pelan saat tak kunjung mendapat pencerahan.
“Terserah,” sahut Alysha mengangkat bahunya tak acuh. “Yakin? Terserahnya cewek itu biasanya mengandung sejuta makna,” tanya Dika memastikan. “Iyaaaa,” jawab Alysha jengah. Akhirnya, mereka memutuskan untuk kembali berkeliling walaupun tanpa tujuan yang jelas. Menyusuri setiap sudut mall tersebut. Sampai tiba-tiba, keduanya mendengar seruan yang memanggil nama salah satu dari mereka. “Sasa!” teriak orang tersebut. Alysha refleks menoleh. Begitu pun dengan Dika. Matanya membulat saat melihat orang yang sedang menghampiri mereka dengan langkah yang tergesagesa. “Nindy,” seru Alysha lirih. Tubuhnya menegang sempurna. Di sana, ia melihat Nindy, Resta, dan Gita—teman-teman sekelasnya dulu—tengah berjalan ke arahnya dengan ekspresi yang tak kalah terkejut. “Lo lagi ngapain di sini?” tanya Nindy pada Alysha. Namun, pandangannya sesekali melirik ke arah Dika dengan tatapan bingung. “Terus, kenapa kalian bisa barengan?” Alysha tak kunjung menjawab. Gadis itu hanya menggigiti bibir bawahnya gugup. Sesekali ia melirik ke arah Dika, meminta bantuan lelaki itu. Jujur, ia bingung harus bagaimana menjelaskan kepada teman-temannya. Tiba-tiba saja, tanpa aba-aba apa pun, Dika menarik Alysha untuk mendekat ke arahnya. Merangkul gadis itu intim seolah mengisyaratkan sesuatu. Membuat ketiga teman Alysha itu melongo tak percaya. Tak jauh berbeda dengan Alysha, yang kini membulatkan matanya karena terkejut dengan perlakuan Dika. “Udah jelas, kan? Nggak harus pake penjelasan lagi?” tanya lelaki itu tak acuh. Lalu, ia mengajak Alysha untuk kembali melanjutkan perjalanan mereka. Meninggalkan ketiga teman Alysha yang masih diam mematung, mencerna kejadian yang baru saja mereka lihat.
Sesekali Alysha menoleh ke belakang. Ia jadi merasa tidak enak hati meninggalkan temantemannya dengan cara seperti ini. Kemudian, ia arahkan pandangan pada lelaki yang tengah berjalan sembari merangkulnya itu, menyikut pelan perut Dika sembari memasang wajah memberengut. “Jahat banget, sih, lo. Mereka teman-teman gue. Main tinggal gitu aja,” protesnya kesal. “Ya, emangnya lo mau berhadapan sama mereka sekarang? Udah bagus gue bantuin buat lolos dari teman-teman lo itu,” cibir Dika dingin. Alysha menghela napas lelah. Hah, benar juga. *** Tepat hari ini, SMA Nusantara akan melangsungkan acara wisuda untuk kelulusan murid kelas XII angkatan ke-31. Hari yang sangat ditunggu-tunggu oleh semua siswa. Banyak murid yang sudah hadir, lengkap dengan setelan formal mereka. Saling berkumpul dengan teman atau sahabat masing-masing. Menikmati momentum kebersamaan mereka di masa SMA untuk yang terakhir kalinya. Seperti halnya dengan para mantan tim basket. Saat ini, mereka sedang berkumpul dan saling melemparkan guyonan sembari menunggu acara puncak dimulai. Hingga tak jarang membuat mereka menjadi pusat perhatian karena suara tawa keras yang mereka hasilkan. “Dik, si Alysha nggak datang?” tanya Farhan yang berdiri tepat di samping Dika. “Dia bareng Bang Rian nanti,” balas Dika tak acuh. Sebenarnya, tadi Dika sudah mengajak Alysha untuk pergi bersama. Namun, gadis itu menolak dengan alasan ia tidak ingin kembali menjadi perbincangan satu sekolah dengan datang bersama Dika. Jadi, Alysha memutuskan untuk ikut bersama Rian dan Sarah sebagai tamu undangan dan perwakilan keluarga, sedangkan Farhan yang mendengarnya hanya mengangguk paham.
sem*ntara itu, di lain tempat, Alysha yang baru saja sampai segera turun dari mobil bersama Sarah yang tengah menggendong Daniel. Alysha termenung untuk sesaat, memperhatikan gedung sekolah yang ia rindukan. Sejak insiden beberapa waktu lalu, ini pertama kalinya gadis itu kembali menginjakkan kakinya di tempat ini. Sekelebat bayangan itu kembali muncul dalam ingatannya. Namun, Alysha berusaha mengenyahkan pemikiran-pemikiran tersebut. Dirinya baru tersadar saat menerima sebuah tepukan dari Sarah. Wanita itu tersenyum sembari menggandeng tangannya. Mereka pun mulai memasuki kawasan sekolah. “Sasa!” Pekikan yang sangat nyaring terdengar oleh Alysha, membuat langkahnya terhenti dan berusaha mencari sumber suara. Akhirnya, gadis itu melihat ketiga sahabatnya yang tengah melambaikan tangan ke arahnya. Sebuah senyuman terbit di wajah Alysha ketika mereka berlari menghampirinya dan memeluk Alysha dengan kencang sampai hampir saja membuat gadis itu terhuyung ke belakang. Mereka saling melampiaskan rasa rindu untuk beberapa saat. Menjelang minggu-minggu menuju tanggal ujian, mereka sudah jarang bertemu. Bahkan, hampir tak pernah saling berkomunikasi satu sama lain. Baru hari ini mereka kembali bertemu. “Aaaa... Gue kangen banget, Sa,” ujar Dara dengan wajah sedihnya. “Gue juga kangen sama kalian,” timpal Alysha sembari menatap satu per satu wajah sabahatnya itu. Lalu, tatapannya tertuju pada Anggi. “Sorry, ya, Gi, gue nggak bisa nemenin lo di sidang perceraian orangtua lo waktu itu,” ujarnya penuh penyesalan. “Nggak apa-apa, Sa. Santai aja. Gue denger, waktu itu Dika baru pulang setelah insiden kebakaran di Bali. Jadi, pasti Dika lebih butuh lo daripada gue,” balas Anggi memaklumi. Ia tersenyum sembari menepuk pundak Alysha, membuat gadis itu ikut tersenyum. “Kalau gitu, kita duluan, ya, Sa. Kalian lanjutin aja ngobrol-ngobrolnya. Have fun!” ucap Sarah berpamitan pada keempat sahabat itu seraya tersenyum ramah. Kemudian, melanjutkan langkahnya kembali bersama Rian dan Daniel.
Sepeninggal kakak iparnya, Alysha kembali mengalihkan perhatiannya pada Hana, Dara, dan Anggi. Raut bahagia jelas terpancar dari wajah gadis itu. Akhirnya, mereka memutuskan untuk saling melampiaskan kerinduan di area kantin—tempat dulu mereka sering menghabiskan waktu bersama. “Gue kangen banget meja ini. Kangen jajanan di sini. Kangen batagor, mi ayam, pempek, kwetiau, dan teman-temannya. Di tempat homeschooling gue, makanannya kurang asyik,” keluh Alysha. “Kita juga kangen lo ada di sini. Sekarang kita cuma duduk bertiga di meja ini,” timpal Hana lirih, membuat suasana berubah sendu. “Udah, udah. Yang penting sekarang, kan, kita bisa kumpul lagi. Pokoknya, kita berempat harus berjuang untuk sukses bareng-bareng. Tujuh tahun yang akan datang, harus ada pencapaian yang bisa kita banggain. Oke?” tutur Dara yang disetujui oleh sahabat-sahabatnya. Tak lama kemudian, tiba-tiba saja, mereka dikejutkan oleh kehadiran tiga orang perempuan yang tanpa permisi duduk bergabung bersama mereka dengan tatapan tak bersahabat. Sontak, mereka semua menoleh dengan pandangan bingung dan bertanya-tanya. “Lo utang penjelasan sama kita,” ujar Nindy pada Alysha dengan nada tegas, membuat Alysha mengulum bibirnya canggung sambil meringis kecil, sedangkan Hana, Dara, dan Anggi mengerutkan dahinya bingung. “Bukannya waktu itu udah cukup jelas, ya? Lo semua pasti udah tau jawabannya, kan?” jelas Alysha. “Nggak! Kita mau denger langsung dari mulut lo,” ujar Resta menuntut. “Yup! Bener banget! Kita mau lo ngomong langsung dan jelasin sejelas-jelasnya,” ucap Gita menimpali. Alysha mendesah kecil. Ia menarik napasnya dalam hingga akhirnya memutuskan untuk berterus terang. Toh, mereka sudah tahu kebenarannya. Jadi, tidak ada salahnya ia menceritakan
semua kronologi perihal hubungannya dan Dika. sem*ntara, teman-temannya yang lain hanya diam, menyimak semua ucapan Alysha dengan serius. Entah sudah berapa macam reaksi yang diberikan teman-teman Alysha ketika gadis itu menceritakan semuanya. Mulai dari ekspresi terkejut, kesal, tak percaya, dan lain-lain. Namun, tetap saja mereka mendengarkan cerita Alysha. “Wah, parah! Bisa-bisanya gue ketinggalan berita sepanas ini!” pekik Nindy heboh ketika Alysha telah selesai bercerita, membuat teman-temannya—yang sudah memprediksi reaksi Nindy—memutar mata jengah. “Aduh, telinga gue sakit denger suara sepuluh oktaf lo,” protes Anggi yang berada di sebelah Nindy sambil mengelus pelan telinganya. “Abisnya gue tercengang, Gi, denger berita sebesar ini! Kenapa lo tutup-tutupin, sih?” tanya Nindy dengan polosnya. “Dasar lemot! Lo nggak lihat si Sasa harus keluar gara-gara ketahuan pihak sekolah? Dan lo masih tanya kenapa ditutup-tutupin? Pinter banget, sih, otak lo!” cibir Resta sebal. Lama-lama berteman dengan Nindy membuat tensi darahnya naik. Tapi, anehnya, ia tetap bisa bertahan selama tiga tahun berteman dengan gadis itu. Nindy hanya memasang wajah cemberut mendengar ucapan Resta. sem*ntara, yang lainnya memilih kembali bercengkerama, membahas momen-momen yang pernah mereka lalui bersama. Tapi, pembicaraan itu tak berlangsung lama karena terdengar himbauan jika acara utama akan segera dimulai, membuat mereka semua bergegas menuju lapangan utama sekolah yang telah didekor sedemikian rupa menjadi sangat cantik. Para siswa terlihat menempati kursi sebelah kanan. sem*ntara, para tamu undangan menempati tempat sebelah kiri. Alysha yang kini duduk di samping Sarah menatap teman-teman dan siswa lainnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Melihat sukacita yang terpancar dari wajah mereka membuat dadanya terasa sedikit sesak. Seharusnya, ia berada di sana. Bercanda dan tertawa bersama menantikan detik-detik pemanggilan nama mereka untuk maju ke depan
dan mendapat mendali kelulusan mereka. Namun, kenyataannya kini ia berada di sini bukan untuk mendapat piagam kelulusan, melainkan hanya sebagai tamu undangan. Sarah yang sejak tadi memperhatikan gerak-gerik Alysha, sontak menyentuh lengan gadis itu. Menempatkan telapak tangannya di atas tangan Alysha dan menggenggamnya lembut, membuat Alysha sedikit tersentak karena terkejut dan menoleh ke samping, melihat Sarah yang tersenyum lembut padanya, seolah berusaha memberinya kekuatan. Seperti biasanya, acara pertama diawali dengan doa dan sambutan-sambutan dari para petinggi sekolah dan beberapa perwakilan komite orangtua murid. Kemudian, dilanjut dengan penyerahan medali untuk para siswa. Sampai pada akhirnya, acara inti telah selesai dan digantikan oleh acara hiburan yang diadakan untuk memeriahkan acara. Beberapa perwakilan dari para siswa mulai maju ke depan, memberikan kesan dan pesan mereka selama masa SMA. Hingga akhirnya, tiba giliran Dika yang mendapat kesempatan sebagai perwakilan murid dengan nilai tertinggi. Lelaki itu mulai melangkah maju, membuat seluruh mata tertuju padanya, seolah menegaskan seberapa kuat aura seorang Radhika Wijaya karena mampu membuat orang-orang di sekitarnya terhipnotis dan tak bisa memalingkan perhatian mereka dari lelaki itu. Dika berdiri di depan stand mic, berdeham pelan, lalu menatap orang-orang di depannya dengan saksama. Ia menarik dan mengembuskan napasnya perlahan. Kemudian, memulai pidato singkatnya. “Halo, perkenalkan, saya Radhika Wijaya, perwakilan siswa dari kelas XII IPA 1, sekaligus mewakili tim basket, dan seluruh siswa SMA Nusantara. Tidak banyak yang ingin saya sampaikan di sini, saya hanya ingin mengucapkan terima kasih banyak kepada semua guru dan staf administrasi atas semua jasa-jasa yang tidak terhingga. Terima kasih kepada teman-teman yang sudah memberikan kenangan tak terlupakan dan anggota tim basket atas segala perjuangan dan pengorbanan kalian selama ini. Untuk keluarga yang selalu mendukung perjalanan hidup saya. Dan, yang terakhir, untuk seseorang yang istimewa,” ujar Dika sembari memfokuskan pandangannya pada satu titik. Tanpa menghiraukan suasana yang mendadak gaduh akibat ucapan terakhirnya yang berhasil mematahkan hati para siswi.
Di sisi lain, Alysha yang merasa diperhatikan mendadak salah tingkah. Ia membuang pandangannya ke arah lain sembari meneguk ludahnya gugup. Gadis itu tidak ingin terlalu percaya diri. Namun, entah mengapa, ia merasa Dika tengah menatapnya dalam sekarang. “Terima kasih telah hadir dengan membawa berjuta warna baru,” lanjut lelaki itu dengan pandangan yang tak pernah lepas sedikit pun pada gadis yang duduk di depan sana. Terima kasih telah mengajarkanku arti pengorbanan. Terima kasih telah menunjukkan padaku jika sejatinya cinta tak selalu membutuhkan katakata. Terima kasih karena telah bersedia bertahan dan berjuang. Saat semua tengah sibuk menerka-nerka orang yang Dika maksud, sebuah pekikan nyaring mengalihkan perhatian mereka. “Eh, gila, gila! Cek situs sekolah, buru,” ujar salah satu siswa pada teman-temannya. Merasa penasaran, lantas orang-orang yang mendengarnya mulai mengambil ponsel mereka, dan membuka situs komunitas sekolah yang dikhususkan untuk para murid. Desas-desus mulai terdengar dari para murid ketika melihat sebuah posting-an yang diunggah oleh seseorang. Alysha penasaran, lalu ikut membuka ponselnya. Begitu pun dengan Dika yang melakukan hal serupa. Raut wajah Alysha berubah terkejut. Tidak menyangka dengan apa yang dilihatnya saat ini. Di sana tertulis sebuah pengakuan dan permintaan maaf dari Reva yang berisi bahwa ia-lah yang telah mengunggah foto pribadi Alysha dan menyebarkan gosip buruk tentang gadis itu. Dada Alysha terasa sesak. Ia memang mengetahui jika Reva adalah pelakunya. Tapi, ketika membaca pengakuan langsung dari gadis itu, Alysha teringat rasa sakit yang ia rasakan dulu. Terlebih, saat ini banyak orang yang melirik ke arahnya sambil berbisik. Entah apa yang mereka bicarakan, membuat kejadian beberapa waktu lalu, terputar kembali di kepalanya. Kejadian yang
membuatnya mengalami traumatik. Tubuh Alysha mulai gemetar. Jantungnya berpacu cepat. Sarah yang berada di sampingnya pun berusaha menenangkan. Tiba-tiba pekikan heboh terdengar memenuhi indra pendengaran Alysha. Ia mendongak saat Sarah menepuk pundaknya dan menggerakkan dagunya seolah memberi petunjuk. Ia menoleh saat merasakan kehadiran seseorang sudah berdiri di hadapannya. Terlihat Dika tengah mengulurkan tangan ke arahnya sambil tersenyum hangat, membuat beberapa siswa memekik tertahan karena untuk pertama kalinya, mereka melihat Dika bersikap seperti itu. Awalnya, Alysha tak mengerti. Namun, setelah menatap wajah lelaki itu, Alysha paham. Dengan perlahan, Alysha menerima uluran tersebut. Kemudian, bangkit dari posisinya. Dika menggenggam tangan gadis itu erat. Lalu, ia segera menarik Alysha dan membawanya pergi menjauhi kerumunan orang-orang itu, meninggalkan kegaduhan dari orang-orang yang menyaksikan kejadian tersebut. “Woah… gue nggak percaya ini,” ujar salah satu murid seraya mendesah kecewa. sem*ntara, teman-teman Dika dan Alysha, termasuk Rian dan Sarah hanya menggeleng melihat tingkah pasangan itu. Dika dan Alysha berhenti di sebuah taman yang lumayan sepi. Setelah turun dari motor, mereka berdua menempati sebuah bangku yang tak jauh dari tempatnya saat ini. “Gue nggak nyangka Reva bakal ngaku,” ujar Alysha sambil menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. “Hm,” sahut Dika menimpali. Alysha menoleh pada lelaki di sampingnya. “Atau, jangan-jangan ini ulah lo, ya?” tanya gadis itu menatap Dika menyelidik. “Udah sepantasnya dia menerima akibat dari ulahnya sendiri,” timpal Dika tanpa minat. “Kok lo bisa bikin dia mau ngaku?” tanya Alysha penasaran.
Kelas usai sejak beberapa menit yang lalu. Hampir semua murid telah meninggalkan area kelas dan pulang. Kini, hanya menyisakan Dika dan Reva yang masih berada di dalam kelas tersebut. Setelah memastikan semua barangnya tidak ada yang tertinggal, Dika segera menyiapkan tasnya dan meninggalkan ruangan itu, tapi tiba-tiba, Reva menghentikan kegiatannya. “Dik, gue mau ngomong sama lo,” ujarnya gugup. “Apa?” sahut Dika cuek. “Gue mau bilang makasih, karena lo udah bantuin gue keluar dari hotel waktu itu.” “Udah?” tanya Dika dengan sebelah alis yang terangkat. Reva mengangguk ragu. “Makasih doang? Setelah gue selamatin nyawa lo?” tanyanya kembali. “Terus, gue harus apa?” sahut Reva bingung. “Gue yakin lo tau apa yang gue mau.” Reva hanya diam sambil menggigit bibirnya ragu, membuat Dika mencibir meremehkan. “Lo udah buat masa depan Alysha hancur dan lo nggak nyesel sama sekali?” ujarnya. “Ya udah, kalau lo nggak sanggup, gue siap bantu buat ngomong ke pihak sekolah,” lanjut lelaki itu. “O-oke, gue akan ngaku dan bersihin nama Alysha lagi. T-tapi, nggak untuk sekarang. Biarin gue selesain dulu sekolah gue,” ujar gadis itu memelas. Kalau Dika sampai membongkar semua, nilai-nilainya bisa terancam. “Buat apa? Lo sendiri juga nggak mikirin, kan, gimana nasib masa depan Alysha kalau sampai pihak sekolah tau?” “Lagi pula, kalau pun gue ngomong sekarang, bukannya masa depan lo juga ikut terancam? Bisa aja pihak sekolah ngeluarin lo kayak Alysha,” kata Reva balik mengancam.
“Sayangnya, gue nggak takut. Hidup gue nggak akan berakhir cuma karena keluar dari sekolah ini,” balas Dika tak gentar. Reva semakin gelisah. Keberaniannya semakin menipis. Akhirnya, ia memilih untuk mengalah. “Gue janji, selesai ujian nanti, gue bakal lakuin apa yang lo mau. Tapi, kasih gue waktu,” ujar gadis itu memohon. “Gue pegang janji lo.” Setelah mengatakan itu, Dika segera melenggang keluar, meninggalkan Reva seorang diri. Sejujurnya, ia ingin melihat gadis itu merasakan hal seperti yang Alysha rasakan dulu. Namun, tetap tak ada gunanya. Balas dendam seperti itu tidak akan bisa menghilangkan rasa trauma Alysha. Yang terpenting sekarang, Dika hanya ingin nama baik Alysha kembali bersih. ***
Kebahagiaan Baru Sinar matahari pagi mulai menerobos masuk melalui celah jendela sebuah kamar, mengusik kenyamanan seseorang yang masih bergelut di bawah selimutnya. Lelaki itu melenguh pelan, lalu kembali bergerak mengubah posisi tidurnya untuk mencari posisi yang lebih nyaman. Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka, menampilkan seorang wanita yang melangkah masuk sembari menggelengkan kepalanya. “Bangun, Dika!” ujar gadis itu sambil mengguncang pelan bahu Dika. “Lo bukannya ada kelas pagi ini?” “Bentar lagi, Sa, gue masih ngantuk. Gue baru tidur jam tiga pagi,” sahutnya dengan mata yang tetap terpejam. “Tapi, presentasi lo, gimana?” tanya Alysha. Mendengar hal itu, dalam hitungan detik, mata Dika sontak langsung terbuka. Ia terbangun dari posisinya dengan pandangan sayu. Sangat kentara jika lelaki itu kekurangan waktu tidurnya. Dika menghela napas berat sembari mengacak rambutnya frustrasi. Alysha memandang iba lelaki di depannya. Akhir-akhir ini, kegiatan perkuliahan Dika benar-benar padat. Ditambah lagi, lelaki itu harus membantu Rian mengurus perusahaan. Satu tahun belakangan, Rian mengambil alih pekerjaan Papi dikarenakan kondisinya yang sering tidak stabil dan tidak mampu lagi jika harus mengurus perusahaan. Namun, beberapa bulan terakhir ini, Rian sedang melakukan sebuah proyek besar yang membuat pekerjaannya bertambah dua kali lipat. Maka dari itu, mau tidak mau, Dika harus ikut membantu Rian di sela-sela waktu kuliahnya. Wanita itu mendudukkan dirinya di tepi tempat tidur, menyejajarkan tingginya dengan Dika. Lalu, ia mengusap kepala lelaki itu pelan. “Jangan terlalu diforsir. Tubuh lo juga butuh istirahat,” pesannya. Lelaki itu bergerak mendekati Alysha, menyandarkan kepalanya di bahu wanita itu, sambil memejamkan matanya kembali. “Biarin gini dulu aja selama lima menit.”
Alysha tak membantah. Ia kembali menempatkan telapak tangannya di kepala Dika dan mengelusnya lembut. Namun, dengan segera, lelaki itu menepisnya. “Kalau kayak gitu, nanti malah bikin gue makin nyenyak,” racau Dika lemah. Alysha terkekeh geli. Kemudian, menunggu lelaki itu sampai benar-benar terbangun. *** Hari ini, kegiatan Alysha hanya diam di rumah menemani Daniel bermain. Selama dua hari ke depan, jadwal kuliahnya kosong. Kini, Daniel sudah mulai aktif bermain sembari berlarian ke sana-sini, sampai membuat Alysha dan Sarah kewalahan. Seperti saat ini, mereka berdua tengah berada di ruang keluarga dan Daniel tak hentihentinya berlari memutari ruangan tersebut dengan sebuah pesawat terbang mainan yang baru dibelikan Rian bulan lalu. Alysha yang sudah lelah menjaganya, hanya duduk pasrah sambil bersandar pada sandaran sofa. “Daniel, udah dong. Kak Sasa pusing lihat kamu lari-larian terus,” ujarnya dengan nada memelas. “Tante Sasa payah,” ejek Daniel sambil terus berlari. Alysha hanya memutar matanya malas. Semakin besar, sifat Daniel semakin mirip dengan Dika. Apa karena saat Daniel masih bayi, mereka berdua sangat dekat, makanya Daniel jadi tertular sifat dingin dan menyebalkan om-nya itu? Alysha menggelengkan kepalanya cepat, mengenyahkan pemikiran anehnya itu. Jangan sampai jika mereka mempunyai anak nanti, anak-anaknya akan mewarisi sifat Dika. Cukup wajah dan kepintarannya saja. Jangan hal yang lainnya. Pintu rumah mereka terbuka, menampilkan Sarah dengan dua kantung belanjaan di tangannya. Begitu pula dengan Bi Tuti yang berjalan di belakang wanita itu. Keduanya baru saja pulang setelah membeli keperluan dapur dan keperluan-keperluan lainnya.
Alysha menghela napas lega melihat kedatangan mereka. Ia merasa seperti mendapat angin segar di tengah gurun pasir. “Daniel nakal, ya, Sa?” tanya Sarah setelah menyimpan barang belanjaannya. Ia mendudukkan diri di dekat Alysha yang terlihat kelelahan. “Nggak nakal. Cuma sangat-sangat aktif,” jawab Alysha dengan nada pasrah. “Gara-gara keseringan diajak main sama Dika, tuh. Daniel jadi aktif banget sekarang. Mana semalem dia minta dibeliin bola basket,” timpal Sarah sambil menggeleng heran melihat tingkah anak laki-lakinya itu. “Jangan sampai, deh, kalau punya anak nanti, sifatnya mirip Dika,” celetuk Alysha cemas. Sarah tertawa. “Namanya juga anak sama orangtua, Sa. Ya, pasti sifatnya nggak akan beda jauh,” ujar Sarah menimpali. Alysha bergidik mendengarnya, sem*ntara Daniel yang sudah merasa lelah, menghampiri orangtuanya dengan napas yang terengah-engah. *** Setelah Daniel tertidur lelap, Sarah segera membawa putranya itu ke kamar mereka, meninggalkan Alysha seorang diri di ruang keluarga. Dengan malas, Alysha menggonta-ganti saluran televisi, mencari acara yang menarik. Tak berselang lama, Alysha mendengar langkah kaki seseorang menghampirinya. Ia menoleh dan melihat Dika yang berjalan dengan gontai menuju ke arahnya. Tanpa basa-basi, lelaki itu langsung menghempaskan tubuhnya ke atas sofa, mendudukkan dirinya tepat di samping Alysha. Raut wajahnya terlihat begitu lesu, membuat dahi Alysha berkerut. “Kenapa? Kok tumben pulang cepet?” tanyanya bingung. “Gue nggak enak badan. Kepala gue juga pusing,” keluh Dika sambil memijat pelipisnya pelan.
“Itu karena lo kurang istirahat. Ya udah sini, gue bantu pijitin kepalanya,” ujar Alysha menawarkan bantuan. Mendengar hal itu, sontak membuat Dika langsung mengubah posisinya dengan berbaring di atas sofa, menjadikan kaki Alysha sebagai bantalan kepalanya. “Lo duduk di bawahlah, biar gampang,” titah Alysha yang sedikit terkejut dengan tingkah lelaki itu. “Udah, gini aja,” sahut Dika tak acuh sembari menempatkan lengannya di atas dahi untuk menutupi penglihatannya. Alysha mendengkus jengah. Kemudian, ia mulai memijat kepala lelaki itu perlahan, membuat Dika terbuai dengan kesadaran yang mulai menipis. Hingga akhirnya, suara deru napas yang teratur menyapa indra pendengaran Alysha. Gadis itu sedikit membungkukkan tubuhnya untuk mengintip wajah Dika yang tertutup lengan lelaki itu. Kepalanya menggeleng saat menyadari kalau lelaki di pangkuannya tertidur. Mau tak mau, dirinya terdiam di tempat karena tak tega jika harus membangunkan lelaki itu. *** Waktu kini telah menunjukkan pukul satu dini hari. Alysha tiba-tiba terbangun karena merasakan kering di tenggorokannya. Gadis itu bangkit mengambil air minum yang tersedia di atas nakas. Setelah itu, ia berniat kembali menjemput mimpinya. Baru beberapa menit ia memejamkan mata, tapi tiba-tiba terganggu dengan pergerakan yang dilakukan oleh lelaki di sampingnya. Alysha menoleh melihat apa yang dilakukan Dika. Gadis itu mencoba menajamkan penglihatannya. Ia melihat Dika yang bergerak gelisah dengan mata yang masih tertutup. Apa lelaki itu tengah bermimpi? Alysha menggeser sedikit tubuhnya mendekati Dika. Lelaki itu masih bergerak gelisah dengan napas yang sedikit memburu. Ia menepuk pelan dada bidangnya mencoba menenangkan Dika.
“Sssttt, tenang, Dik,” ucap Alysha pelan. Hingga beberapa menit berlalu, usaha Alysha sedikit berhasil. Napas Dika yang sebelumnya memburu, kini mulai teratur. Tangannya bergeser ke area leher Dika untuk menyeka keringat yang mulai bercucuran. Namun, pergerakannya tiba-tiba terhenti saat merasakan pergerakan dari tubuh Dika yang diikuti oleh sebuah lengan yang melingkar di sekitar pinggangnya. Napas Alysha terasa tercekat saat lelaki itu menggeser badannya, mengikis jarak di antara mereka. Dika menyandarkan kepalanya pada bahu Alysha, membuat wanita itu dapat merasakan hangatnya embusan napas Dika yang menerpa tengkuk lehernya. Alysha hendak menggeser tubuh Dika agar sedikit menjauh darinya. Namun, ketika melihat wajah tenang Dika yang dapat ia lihat dari jarak sedekat ini, membuat gadis itu mengurungkan niatnya. Ia membiarkan Dika memeluknya dan memilih melanjutkan tidurnya yang sempat terganggu. *** Alysha berjalan menuruni anak tangga menuju dapur. Ia mengambil beberapa helai roti, dan mengolesinya dengan selai. Kemudian, menuangkan segelas susu dan menyiapkannya di atas sebuah nampan. Sarah yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik Alysha, menatap kegiatan gadis itu dengan tatapan heran. “Itu buat siapa, Sa?” “Buat Dika, Kak. Dia lagi sakit,” sahut Alysha sambil mengangkat nampan itu dengan hatihati. “Sakit apa?” tanya Rian menimpali. “Kurang enak badan aja. Semalem dia sempet demam juga,” jawab Alysha menjelaskan. “Demam?” tanya Rian kembali. Alysha mengangguk pelan. “Mungkin efek kecapekan.”
“Ya udah, suruh dia buat istirahat aja hari ini, kalau nggak ada yang terlalu penting di kampus,” timpal lelaki itu. Alysha kembali mengangguk paham. “Kalau gitu, Sasa mau ke kamar dulu,” ujarnya berpamitan. Setelah itu, ia berjalan meninggalkan dua kakak iparnya dengan membawa sebuah nampan di tangannya dengan sangat hati-hati. Pintu kamar terbuka, memperlihatkan seseorang yang masih setia tertidur pulas di atas tempat tidur. Wajahnya pucat, dengan sebuah kain kompresan di dahinya yang sempat Alysha taruh tadi. Setelah menyimpan nampan yang dibawanya ke atas nakas, Alysha segera mengambil kompresan tersebut dan mengecek suhu tubuh Dika dengan tangannya. Kemudian, ia mengguncang pelan bahu lelaki itu untuk membangunkannya. “Hei, bangun dulu,” ujar Alysha. Dika menggeliat kecil, lalu kembali memejamkan matanya. “Ck, bangun. Lo harus makan dulu, terus minum obat.” Dika tak menggubris. Lelaki itu justru hanya bergeser mendekat, kemudian melingkarkan kedua tangannya di pinggang Alysha dan kembali tertidur. Alysha yang mulai kesal, dengan cepat menjauhkan tangan Dika dari tubuhnya. Ia mengapit kedua pipi lelaki itu dengan sebelah tangannya dengan gemas. “Buruan bangun!” titah Alysha sembari menggerak-gerakkan kepala lelaki itu, membuat Dika segera menepis tangan Alysha sambil melenguh malas. Tak lama kemudian, wanita itu berdiri dari posisinya dan menarik kedua tangan Dika agar lelaki itu terbangun dari tidurnya. Mau tak mau, Dika menurut dan mengubah posisinya menjadi terduduk sembari mengacak rambutnya gusar. “Nih, sarapan dulu,” kata Alysha seraya meletakkan nampan tadi tepat di hadapan Dika. “Gue nggak selera makan,” tolak lelaki itu. “Gue nggak mau tau. Lo harus makan,” ucap Alysha bersikukuh. Ia mengambil roti itu dan menyodorkannya ke arah Dika, memaksa lelaki itu untuk membuka mulutnya.
“Gue nggak mau, Alysha.” “Gue maksa. Cepet buka mulut lo!” titah Alysha. Namun, Dika tetap menggeleng. “Ya udah, dikit aja, deh,” bujuknya. Setelah beberapa saat mereka saling bersikukuh dengan pendirian masing-masing, akhirnya Dika memilih untuk mengalah, membuat Alysha tersenyum senang. *** Dika menghentikan mobilnya ketika mereka baru saja sampai di halaman kampus. Ia segera mematikan mesin mobil dan melepas seatbelt miliknya. Kemudian, ia melirik ke arah samping. “Hari ini lo pulang jam berapa?” “Jadwal gue nggak banyak, sih, hari ini. Paling siang juga udah beres,” jawab Alysha sambil membereskan barang-barangnya dan bersiap turun. “Kelas gue selesai jam dua. Lo mau nunggu atau pulang duluan?” tanya Dika kembali. Alysha terlihat berpikir sejenak. Kemudian, menatap Dika. “Gue pulang sendiri aja. Kebetulan hari ini, Hana minta gue temenin ke butik,” sahutnya santai. “Acara pertunangannya sama Aldo jadi?” Gadis itu mengangguk kecil menjawab pertanyaan Dika. “Gue kira si Aldo bercanda doang waktu itu,” timpal Dika kembali. “Lo pikir, semua persiapan yang udah dirancang sedemikian rupa cuma buat prank?” balas Alysha sengit. “Kenapa jadi lo yang emosi?” tanya Dika bingung.
“Ya, karena lo udah menyepelekan acara sahabat gue. Lo tau nggak gimana sibuknya mereka nyiapin semua itu? Tapi, dengan mudahnya lo anggap itu cuma bercandaan,” tutur Alysha dengan nada yang meninggi. Ia menatap kesal pada Dika sambil mengatur deru napasnya. “Ya ampun, Sa. Kenapa lo anggap serius? Gue juga cuma bercanda kali.” “Bercanda lo nggak lucu,” sahut Alysha kesal. Tiba-tiba, matanya memanas dan berkacakaca. Entah mengapa dirinya tiba-tiba merasa sangat kesal hingga rasanya ingin menangis. Tapi, ia sendiri bingung. Apa yang membuatnya seperti ini? Tak mungkin, kan, dirinya menangis hanya karena perdebatan sepele seperti tadi? “Sekarang kenapa lagi? Kok nangis?” tanya Dika semakin bingung. Tak habis pikir dengan gadis di depannya. Apa hanya karena sahabatnya, ia sampai menangis seperti ini? “Tau, lah. Pikir aja sendiri,” ujar Alysha singkat. Kemudian, segera beranjak keluar dari mobil tersebut, meninggalkan Dika dengan segala pertanyaan dalam kepalanya melihat sikap Alysha dan mood-nya yang cepat berubah hari ini. Benar-benar tak habis pikir. Di sela langkahnya, Alysha merutuk di dalam hati. Mengapa akhir-akhir ini emosinya sulit terkendali? Hanya karena permasalahan yang tak seberapa saja, ia sudah murka. Jika seperti ini terus, bagaimana jadinya nanti? *** Selesai dengan mata kuliah terakhirnya, Alysha bergegas berjalan keluar. Niatnya, ia hendak menemui Hana. Namun, ternyata gadis itu sudah lebih dulu berdiri di dekat pintu kelasnya. “Ekhem, yang mau tunangan. Semangat banget kayaknya, udah nungguin di sini aja,” goda Alysha yang sukses membuat sahabatnya itu tersipu malu. “Apaan, sih?! Udah, ah, ayo buruan. Gue udah punya janji sore ini. Jadi waktu kita nggak banyak,” ujar Hana mengalihkan pembicaraan. Kemudian, ia segera menarik tangan Alysha pergi dengan wajah yang mulai memerah karena godaan gadis itu tadi. ***
sem*njak kelulusan sekolah mereka, kini banyak hal yang berubah. Mulai dari hubungan Hana dan Aldo yang akhirnya bersatu selang beberapa hari usai kelulusan mereka. Setelah melakukan pendekatan selama bertahun-tahun, hingga akhirnya beberapa minggu lagi mereka akan melangsungkan acara pertunangan. Dara dan Farhan juga baru resmi berpacaran beberapa bulan lalu. Untuk yang satu ini, Alysha benar-benar terkejut. Pasalnya, tak ada satu pun dari mereka yang memberi tahu kalau Dara dan Farhan sedang dekat. Tahu-tahu, mereka sudah meresmikan hubungan saja. Dan Reno, kabarnya lelaki itu telah kembali menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya sewaktu SMP yang baru kembali dari Jerman. Kalau Anggi, setelah perceraian orangtuanya beberapa waktu lalu, gadis itu memilih memulai kehidupan baru dan tinggal di Yogyakarta bersama ibu dan kakak laki-lakinya. Alysha cukup senang. Akhirnya, orang-orang terdekatnya mulai menemukan kebahagiaan mereka. Begitu pun dengan dirinya dan Dika. Setelah banyak kejadian yang menimpa mereka, mulai dari kasus yang menyebabkan dirinya dikeluarkan dari sekolah, hingga insiden yang menimpa Dika ketika berada di Bali, sampai membuat lelaki itu mengurungkan niatnya untuk melanjutkan pendidikannya di luar negeri dan memilih bertahan di sini. Lelaki itu mengingat ucapan Dokter Citra yang menyarankan agar ia dan keluarganya lebih memperhatikan kesehatan Papi. Dika pun bertekad menjaga papinya itu dengan baik karena tak ingin mengulangi kesalahan yang sama ketika Mami sakit dulu. Setelah banyak pengorbanan dan rasa sakit yang Alysha dan Dika alami, keduanya memilih untuk hidup bahagia dengan membuka lembaran baru, mencoba saling menerima satu sama lain. “Sa?” Seruan seseorang tiba-tiba membuyarkan lamunan Alysha. Gadis itu sedikit terperanjat dan langsung mengalihkan perhatiannya pada Hana yang sudah berdiri di hadapannya dengan gaun yang melekat di tubuh indahnya. “Cantik banget, Na,” ujar Alysha yang terpukau dengan penampilan sahabatnya itu.
Acara pertunangan mereka memang diselenggarakan khusus untuk keluarga dan sahabatsahabat terdekat saja. Maka dari itu, gaun yang Hana pilih hanya gaun sederhana. Namun, tetap tidak meninggalkan kesan elegan bagi orang yang memakainya. Ucapan Alysha tentu saja membuat Hana merasa sedikit tersipu. Gadis itu mengulum bibirnya senang. Lalu, setelah beberapa saat melihat pantulan dirinya di cermin, ia segera kembali ke dalam ruang ganti. “Lo lagi mikirin apa, sih, tadi?” tanya Hana ketika mereka berjalan menuju meja kasir dengan membawa sebuah gaun yang Hana pilih tadi. “Bukan apa-apa, kok, Na,” jawab Alysha sambil tersenyum meyakinkan. “Eh, btw, muka lo pucet, Sa. Lo nggak apa-apa?” tanya Hana kembali dengan nada khawatir. Alysha mengerutkan keningnya bingung. Kemudian, ia segera mengambil cermin kecil di dalam tasnya. Lalu, mulai melihat wajahnya dari pantulan cermin tersebut. Benar yang Hana katakan. Wajahnya memang sedikit pucat. Tapi, Alysha tidak merasakan apa pun pada tubuhnya. Akhirnya, wanita itu memilih mengambil lipstick miliknya, lalu sedikit memoleskan lipstick tersebut di bibir pucatnya. Dan kembali melanjutkan langkah mereka. *** Setibanya di rumah, Alysha langsung merebahkan tubuhnya di atas sofa. Setelah membeli gaun Hana tadi, mereka menyempatkan diri untuk berkeliling di sebuah pusat perbelanjaan yang tak jauh dari butik tersebut. Sampai akhirnya, saat perjalanan pulang, Alysha merasa tubuhnya lemas dan mual sehingga menyulitkannya untuk berjalan. “Baru pulang, Sa?” tanya Sarah yang baru kembali dari dapur. Awalnya, wanita itu hendak kembali ke dalam kamar. Namun, ketika melihat Alysha, ia jadi mengurungkan niatnya. Alysha hanya bisa mengangguk lemah sebagai jawaban, membuat Sarah merasa heran. “Kamu nggak apa-apa?”
Lagi-lagi, Alysha hanya menjawab dengan gestur tubuh. Kepalanya menggeleng pelan dengan tatapan mata yang sayu. “Nggak apa-apa gimana, sih, Sa? Muka kamu pucet gitu,” ujar Sarah khawatir. Kemudian, mendudukkan dirinya di samping Alysha dan mengecek suhu tubuh wanita itu. “Apa yang kamu rasain?” “Sasa cuma kurang enak badan aja. Terus mual juga, mungkin karena Sasa belum makan,” sahut Alysha dengan suara parau. “Kok bisa nggak makan, sih, Sa? Ya udah, Kak Sarah ambil minyak aromaterapi dulu.” Sarah langsung bergegas ke kamarnya dan mengambil minyak angin aromaterapi miliknya. Kemudian, segera kembali menghampiri Alysha. Sarah menumpahkan minyak itu di telapak tangannya dan mengoleskannya ke sekitar pelipis Alysha, memijatnya perlahan. Alysha hanya bisa memejamkan matanya sembari menghirup botol aromaterapi itu guna mengurangi rasa mual yang tengah dirasakannya. Tak berselang lama, pintu utama terbuka. Seorang lelaki baru saja melangkah memasuki rumah tersebut dan menghampiri dua wanita yang sedang berada di ruang keluarga. Kedua alisnya mengernyit heran saat melihat Alysha yang tengah dipijat oleh kakak iparnya. “Kenapa?” tanya Dika pada Sarah. “Dia kurang enak badan, terus katanya mual-mual juga,” balas wanita itu. Dika mengangguk paham. Kemudian, kembali memfokuskan perhatiannya pada Alysha. “Lo baru pulang?” tanyanya. Gadis itu hanya mengangguk singkat. Tak berselang lama, terdengar suara tangisan Daniel dari arah kamar. Mereka sontak menoleh dan mendapati anak laki-laki yang baru terbangun dari tidurnya itu tengah berdiri di ambang pintu sambil menangis memanggil Sarah.
“Kamu tolong lanjutin, ya, Dik. Kak Sarah mau tenangin Daniel dulu. Kamu bawa aja Sasa ke kamar biar Sasa bisa sekalian istirahat. Nanti, Kakak minta Bibi buat bawain makanan. Katanya, dia belum makan,” pesan Sarah, lalu bergegas menghampiri Daniel yang tengah menangis sesengggukkan. “Lo belum makan?” tanya Dika tak percaya. “Hm,” deham Alysha sebagai balasan. Kemudian, ia menegakkan tubuhnya yang semula bersandar pada sofa dan berniat beranjak dari tempatnya untuk menuju ke dalam kamar mereka. Dika yang mengerti, dengan sigap memapah wanita itu menaiki anak tangga. Dika membaringkan Alysha di atas tempat tidur, lalu menempatkan dirinya di samping wanita itu dan melakukan hal seperti yang Sarah lakukan tadi. “Kenapa nggak makan?” Namun, seolah tak ada niatan untuk berbicara, gadis itu hanya menggeleng. Rasa mual yang dirasakannya, membuat ia malas walau hanya untuk sekadar membuka mulut. Pintu kamar tiba-tiba diketuk dari luar. Dengan cepat, Dika segera beranjak membukakan pintu. Terlihat Bi Tuti yang tengah membawa nampan berisi makanan yang tadi diminta oleh Sarah. Setelah menerima nampan tersebut, Dika segera kembali masuk ke dalam kamar. Mendudukkan dirinya di tempat yang persis seperti sebelumnya. Alysha yang melihat isi dari nampan yang Dika bawa, sontak menggeleng. Rasa mualnya semakin menjadi saat melihat makanan tersebut. “Makan,” kata Dika. Namun, Alysha menolak. “Waktu gue sakit, lo juga maksa gue buat makan. Jadi, sekarang lo juga harus makan,” titah Dika kembali dengan nada tak terbantahkan. Bukannya menurut, Alysha justru berlari ke kamar mandi dengan sedikit terhuyung karena tubuhnya yang terasa lemas. Tak tahan jika terus-menerus melihat makanan itu.
Cukup lama wanita itu berdiam diri di dalam kamar mandi. Sampai akhirnya, setelah merasa sedikit lebih baik, wanita itu berjalan keluar. Pandangan pertama yang ia lihat adalah Dika yang berdiri di depan pintu, seakan sengaja menunggunya keluar. “Lo sakit apa, sih?” tanya Dika penasaran. “Ya, mana gue tau,” jawab Alysha yang akhirnya mau bersuara. “Ya udah, makan dulu.” Alysha sontak melotot sambil menggelengkan kepalanya. Dika menghela napas berat. “Please, Sa, sekali aja. Seenggaknya ada makanan yang masuk ke perut lo,” pinta Dika memohon. “Gue nggak nafsu makan. Gue malah makin mual kalau lihat makanan itu,” tolak Alysha kembali. “Ya udah, tapi lo harus banyak istirahat,” ujar Dika mengalah. Alysha mengangguk lemah. Lalu kembali berjalan menuju tempat tidurnya. *** Selesai makan malam, Dika segera kembali ke dalam kamarnya dengan segelas susu yang ia bawa. Sampai saat ini, Alysha tetap menolak untuk makan. Jadi, Dika memilih untuk membawakan susu agar setidaknya ada nutrisi yang bisa diserap oleh tubuhnya. Baru saja Dika hendak menaiki tangga, suara Sarah lebih dulu menghentikannya langkahnya. “Dika, tunggu,” panggil Sarah seraya berlari menghampiri lelaki itu. “Ada apa, Kak?” tanya Dika heran. Bukannya menjawab, Sarah justru mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Setelah merasa tidak ada yang melihat mereka, wanita itu mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya. Ia menarik tangan Dika, lalu dengan cepat memindahkan benda yang dipegangnya pada lelaki itu.
Alis Dika bertaut bingung dengan sikap kakak iparnya itu. Lalu, ia mengalihkan pandangannya pada sesuatu yang baru saja Sarah berikan padanya. Tiba-tiba mata Dika membulat sempurna. Ia menatap benda itu dengan tatapan tak percaya sekaligus bingung. “Tolong kasih Sasa, ya. Kemarin, dia sempet cerita kalau datang bulannya nggak lancar. Siapa tau, ini bisa bantu? Jangan lupa, dipakenya kalau bisa pagi-pagi,” ucap Sarah santai seraya tersenyum misterius. Lalu, tanpa rasa bersalah, ia pergi begitu saja meninggalkan Dika yang masih diliputi rasa keterkejutan. Dengan gontai, Dika menutup pintu kamar dan berjalan menghampiri Alysha. Ia memberikan segelas susu yang tadi ia bawa. Matanya memperhatikan setiap gerak-gerik gadis itu. Baru saja susu itu menyentuh permukaan bibirnya, raut wajah Alysha sudah berubah masam. Kemudian, dengan cepat, ia mengembalikan gelas tersebut pada Dika tanpa ingin meminumnya kembali. Bau susu yang menyengat menyapa indra penciumannya yang tengah sensitif. “Gue nggak mau. Baunya nggak enak, bikin mual,” tolak gadis itu. Dika hanya diam melihat sikap Alysha. Perasaannya sudah tak karuan sejak Sarah memberikan sesuatu padanya tadi. Ditambah melihat sikap Alysha yang seperti ini, membuat jantungnya semakin berdebar. “Dika, jauhin itu dari gue,” pinta Alysha memelas sembari menjauhkan gelas yang saat ini Dika pegang darinya. Lelaki itu tersadar dan langsung mengangguk. Ia menyimpan minuman itu di ujung nakas yang sedikit jauh dari posisi Alysha saat ini. “Y-ya udah, l-lo istirahat aja,” timpal Dika dengan nada gugup. Kemudian, beranjak dari posisinya, berpura-pura mencari kesibukan sambil menyembunyikan benda yang Sarah berikan padanya tadi. *** Keesokkan harinya, Alysha terbangun lebih dulu karena rasa mual yang tak kunjung hilang. Setelah keluar dari kamar mandi, ia langsung mendudukkan dirinya di tepi tempat tidur dengan
lesu. Ia menengok ke samping, memperhatikan Dika yang masih terlelap. Lalu, ia mengguncang pelan bahu lelaki itu. “Dika,” panggilnya lirih. Namun, lelaki itu hanya berdeham singkat dengan mata yang tetap terpejam. “Dika, bangun dulu,” pintanya memelas. Lelaki itu menggeliat kecil dan berusaha membuka matanya perlahan. Ia menatap Alysha dengan tatapan bertanya. “Gue haus. Tapi, botol airnya kosong,” cicit Alysha pelan. Dengan kesadaran yang belum terkumpul sepenuhnya, lelaki itu berusaha bangun dari posisi tidurnya menjadi duduk sambil mengucek mata yang belum terbuka sepenuhnya. Ia mendiamkan dirinya sejenak, lalu beranjak keluar kamar, dan berjalan menuju dapur. Beberapa saat kemudian, lelaki itu kembali dengan sebotol air minum yang terisi penuh dan memberikannya pada Alysha sambil menempatkan dirinya di samping gadis itu. Ia memperhatikan wajah Alysha dengan saksama. “Masih mual?” tanya Dika. Alysha hanya mengangguk sembari berdeham pelan dengan wajah cemberut, membenarkan pertanyaan Dika. Lelaki itu menghela napas berat. Ia menggigiti bibir bawahnya sebagai tanda bahwa lelaki itu tengah berpikir keras. Kemudian, ia beranjak menuju meja belajarnya dan mengambil sesuatu yang ia simpan di balik buku-bukunya. Dika memandang benda itu sesaat dengan pikiran yang berkecamuk. Haruskah? Pertanyaan seperti itu terus saja berputar di kepalanya. Dika menarik napas dalam dan mengembuskannya kasar. Berusaha menguatkan tekadnya, ia berjalan menghampiri Alysha kembali.
“Ini,” ucapnya dengan jantung yang berdebar seraya menyodorkan benda pemberian Sarah semalam. Sontak saja Alysha membulatkan matanya dan melotot tajam ke arah Dika. Persis seperti ekspresi Dika saat pertama kali Sarah memberikan benda tersebut. Jantungnya berpacu cepat. Tubuhnya yang lemas seakan sudah tak mampu menopang dirinya sendiri. “M-maksud lo apa?” tanya Alysha gugup. “Coba aja,” sahut Dika berusaha setenang mungkin. Alysha menggelengkan kepalanya tak percaya. Tidak mungkin, kan, jika dirinya... Hamil? “Percaya sama gue, Sa,” ujar Dika meyakinkan. Walaupun dalam hatinya, ia merasakan kekhawatiran yang teramat besar. Mata Alysha mulai terasa memanas. Jantungnya tak berhenti berdetak cepat. Ada perasaan takut dalam dirinya. Namun, ketika Dika meyakinkannya, wanita itu mencoba memberanikan diri. Ia menerima alat tes kehamilan yang Dika berikan dengan tangan yang gemetar hebat dan beranjak memasuki kamar mandi. sem*ntara Dika, sesaat setelah pintu kamar mandi tertutup, detik itu juga ia menghela napas berat. Ia meninju tembok di dekatnya guna melampiaskan perasaan berkecamuk yang tengah ia rasakan. Lima menit berlalu, tapi Alysha masih belum sanggup melihat hasil dari testpack tersebut. Sedari tadi, ia hanya diam menatap cermin dengan perasaan cemas. Sungguh, dirinya belum siap dengan segala kemungkinan yang terjadi, sedangkan di dalam kamar, Dika semakin gusar menunggu Alysha keluar. Entah sudah keberapa kali dirinya mondar-mandir di depan kamar mandi sambil mengacak rambutnya frustrasi.
Akhirnya, Alysha berusaha memantapkan hati. Berkali-kali ia mencoba menetralkan deru napasnya agar lebih tenang. Ia memejamkan matanya erat sembari menggigit bibir bawahnya cemas. Dengan perlahan, ia mulai membalikkan alat tes kehamilan itu dan sedikit membuka matanya untuk mengintip hasil yang ditunjukkan. Alysha membekap mulutnya tak percaya. Tubuhnya tiba-tiba melemas, membuat dirinya hampir saja kehilangan keseimbangan kalau saja terlambat berpegangan pada sisi wastafel. Pikirannya mendadak blank. Air mata sudah menggenang di pelupuk matanya. Bunyi pintu yang terbuka membuat tubuh Dika seketika menegang. Dalam hitungan detik, lelaki itu sudah berbalik ke arah Alysha. Ia menatap setiap pergerakan gadis itu dengan perasaan was-was. “Gi-gimana?” tanyanya cemas. Alysha tidak menjawab. Ia hanya tertunduk lesu menatap lantai dan mengulum bibirnya gugup. Tak berani menatap lelaki di hadapannya. “Jawab pertanyaan gue, Sa,” ujar Dika merasa frustrasi melihat Alysha yang hanya diam. “Hei,” panggil lelaki itu sambil mengangkat dagu Alysha, membuat gadis itu mendongak. Dengan ragu, Alysha memberikan testpack itu pada Dika. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lain. Terlalu takut melihat reaksi yang akan ditunjukkan lelaki itu. “L-lo hamil?” ucap Dika tak percaya. Ia menatap Alysha dengan tatapan yang sulit diartikan. Melihat ekspresi terkejut Dika, membuat Alysha tidak bisa lagi menahan air matanya. Takut-takut jika lelaki itu tak menyukai kabar tersebut. “Gimana ini?” tanya Alysha khawatir. Jika boleh jujur, perasaannya sekarang bercampur aduk. Tidak tahu apakah ia harus senang ataupun sebaliknya. Di satu sisi, ia senang karena kini terdapat sebuah kehidupan baru yang tumbuh di dalam perutnya. Namun, di sisi lain, ia merasa takut dan khawatir. Pertanyaannya adalah, apakah mereka sanggup?
Karena sejujurnya, Alysha merasa belum siap. Semua ini di luar bayangannya. Ia juga khawatir Dika merasakan hal yang sama. Akankah mereka bisa menjadi orangtua yang baik nantinya? Tanpa aba-aba, tiba-tiba saja lelaki itu memeluknya erat. Ia mengelus punggung Alysha dengan lembut. “Lo tenang aja. Kita berjuang sama-sama,” bisik Dika menenangkan. Walaupun jauh di dalam lubuk hatinya, ada setitik rasa khawatir. Namun, tidak ada yang bisa mereka lakukan lagi selain menerimanya, kan? Akhirnya, Alysha hanya bisa pasrah. Sebelah tangannya ia arahkan pada permukaan perutnya yang masih rata. Mengelusnya perlahan. Masih merasa tak percaya jika kini, di dalam sana, terdapat sebuah kehidupan baru. Jika ternyata sebentar lagi, keduanya akan menjadi orangtua baru untuk malaikat kecil yang akan segera hadir mewarnai hidup mereka. Air matanya semakin mengalir. Dalam pelukan Dika, ia menangis sejadi-jadinya. Suasana senang, haru, bercampur khawatir mendominasi ruangan tersebut. Ruangan yang menjadi saksi kisah perjalanan hidup mereka yang sesungguhnya baru saja akan dimulai. *** Setelah merasa lebih baik dari sebelumnya, mereka memutuskan untuk berjalan keluar dari kamar. Kali ini, Dika benar-benar memaksa Alysha untuk makan. Mengingat sejak kemarin tak ada makanan apa pun yang masuk ke dalam tubuh gadis itu. Ditambah, kondisi Alysha yang sekarang tidak sendiri lagi. Sebenarnya, hubungan mereka berdua masih cukup canggung setelah insiden perihal fakta mengejutkan yang baru saja mereka ketahui beberapa menit yang lalu. Namun, dengan susah payah, mereka berusaha mengenyahkan suasana tidak nyaman itu. Sesampainya di ruang makan, ternyata kehadiran mereka telah ditunggu oleh anggota keluarga yang lain, membuat Alysha merasa tidak enak hati karena membuat mereka menunggu. Ia segera mendudukkan dirinya di samping Dika dan mulai menikmati sarapannya walau dengan sangat terpaksa.
“Jadi, gimana hasilnya?” tanya Sarah penasaran. Hal itu menimbulkan kerutan di dahi Alysha, sedangkan Dika langsung memelototkan matanya hingga hampir saja membuatnya tersedak. “Udah kamu cek, Sa?” tanya Sarah tanpa basa-basi. Mulanya, Alysha tak mengerti maksud pembicaraan Sarah. Namun, setelah ia cerna dengan baik, wajahnya tiba-tiba berubah terkejut. Alysha mengalihkan perhatiannya pada Dika dan menatap lelaki itu kesal. Tapi, Dika hanya berpura-pura tak mengerti. Kemudian, ia kembali mengalihkan fokusnya pada Sarah. Mengulum bibirnya gugup. Lalu, ia tersenyum canggung. Dilihat dari gerak tubuh Alysha, sepertinya menandakan kabar bahagia. “Tuh, kan, Kakak udah duga dari awal, kalau Sasa hamil,” pekik Sarah tertahan. “Uhuk!” Namun nyatanya, ucapan spontan itu berhasil menggemparkan orang-orang yang berada di meja makan. Semuanya menatap Sarah terkejut. Lalu tak lama kemudian, beralih pada Alysha, memandang wanita itu dengan tatapan tak percaya. “Kamu hamil, Sa?” tanya Papi. Wajah Alysha tiba-tiba memerah padam karena malu. Wanita itu tak mampu menjawab. Ia hanya menampilkan seulas senyum tipis. Namun, mampu membuat ruangan tersebut berubah gaduh. Rian segera bangkit dan menghampiri adiknya itu. “Wow, gila! Adek gue bentar lagi jadi bapak!” ujar Rian heboh sembari merangkul Dika dengan bersemangat. “Selamat, Bro!” Papi hanya mampu tersenyum haru mendengar kabar tersebut. Setidaknya, keinginan Papi untuk melihat cucu dari anak bungsunya itu bisa tercapai. *** Akhir pekan ini, Alysha dan Dika akan menghadiri acara pertunangan Hana dan Aldo. Oleh karena itu, Alysha memilih untuk bersiap-siap lebih awal agar dirinya bisa datang lebih dulu dan
menghabiskan waktu bersama sahabatnya itu sebelum acara dimulai. Tak berselang lama, Dika memasuki kamar mereka dengan wajah yang terlihat lesu dan langsung merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. “Mual lagi?” tanya Alysha. Dika hanya mengangguk singkat. Wanita itu menghela napas panjang. Lalu, berjalan menghampiri Dika. Seminggu belakangan ini, Dika sangat sering mengeluh pusing dan mual secara tiba-tiba. Padahal ketika diperiksa, lelaki itu baik-baik saja. Sampai pada akhirnya, Sarah menyarankan mereka untuk berkonsultasi pada salah satu temannya yang berprofesi sebagai dokter kandungan. Awalnya mereka heran, Alysha yang hamil, kenapa Dika yang diperiksa ke dokter kandungan? Namun ternyata, setelah mereka memutuskan untuk mengikuti saran dari Sarah, akhirnya mereka tahu alasan mengapa Dika merasa mual-mual. Dokter itu mengatakan, kalau hal yang dialami Dika adalah sesuatu yang wajar. Biasanya, lelaki yang mengalami morning sickness terjadi karena munculnya kekhawatiran seorang pria yang akan menjadi figur seorang ayah. Stres yang Dika alami memengaruhi hormon dalam tubuhnya sehingga membuat lelaki itu mengalami morning sickness seperti yang umumnya terjadi pada wanita hamil. Ketika mendengar penjelasan itu, entah Alysha harus merasa kasihan atau justru merasa lucu. “Terus, gimana? Kita jadi datang ke acara Hana sama Aldo?” tanya Alysha bingung saat melihat kondisi Dika yang kurang baik. Sebenarnya, Dika merasa sangat malas untuk pergi. Namun, mengingat ini adalah acara sahabatnya juga, mau tak mau Dika memaksakan diri untuk hadir. “Jadi. Tapi, kita berangkat kalau kondisi gue udah mendingan,” ujar lelaki itu sambil bergerak mengubah posisinya menjadi tertidur di atas paha Alysha. Lalu, melingkarkan tangannya di pinggang wanita itu. Wajahnya yang berhadapan langsung dengan perut Alysha, membuat pandangan Dika terkunci untuk beberapa saat. Pikirannya melayang memikirkan kehidupannya beberapa bulan mendatang. Ia masih tak percaya jika sebentar lagi, dirinya akan menjadi seorang ayah di usia semuda ini.
“Belum apa-apa, kamu udah nyusahin,” celetuk Dika enteng. Matanya tak pernah luput dari pemandangan di depannya. Hal itu tentu saja sukses membuat Alysha melotot. Baru saja ia ingin melayangkan protes, suara Dika yang kembali terdengar membuat niatnya terurung. “Tapi, nggak apa-apa. Yang penting, kamu tumbuh sehat. Dan jangan nyusahin mama kamu, ya,” tutur Dika kembali. Seolah ada ribuan kupu-kupu yang terbang di dalam perutnya, Alysha merasa seakan melayang. Kedua pipinya terasa menghangat. Wanita itu mengulum bibirnya menahan malu. Senyuman di wajahnya tak bisa ia tahan lagi. Tidak menyangka jika Dika bisa berkata seperti itu. Akhirnya, mereka berdua memilih diam. Menikmati waktu yang terus berjalan dalam keheningan. Dika semakin mengeratkan pelukannya dengan mata yang mulai terpejam. Alysha hanya mendengkus melihat tingkah Dika. Entah mengapa, akhir-akhir ini, lelaki itu terus menempelinya. Sifatnya pun berbanding terbalik dengan Dika yang dulu ia kenal. Apa ini memang efek dari morning sickness yang dialaminya? *** Usia kehamilan Alysha sekarang memasuki awal trimester kedua. Bisa terlihat dari perutnya yang mulai menonjol samar. Setelah membersihkan wajahnya, Alysha segera keluar dari kamar mandi dan berjalan menuju tempat tidurnya. Jam telah menunjukkan pukul sebelas malam. Pasangan yang berada di dalam kamar itu tengah bersiap tidur untuk menjemput mimpinya masing-masing. Dika sudah terlelap beberapa saat yang lalu. Tapi, Alysha masih tetap terjaga dan terus bergerak dengan gelisah. Gadis itu mengalihkan perhatiannya pada Dika sambil mengulum bibirnya ragu. Kemudian, mengulurkan tangannya untuk membangunkan lelaki itu. “Dika,” serunya pelan.
Lelaki itu hanya menggeliat kecil, lalu kembali mencari posisi yang nyaman untuk tidur. “Dika, bangun.” “Eugh,” lenguh Dika. Kemudian, mulai membuka matanya perlahan. “Kenapa?” tanyanya. “Gue laper,” cicitnya pelan. “Mau makan apa?” tanya Dika dengan kondisi setengah sadar. “Gue pengin kepiting sama permen kapas,” cicit Alysha penuh harap. “Makan masakan Bi Tuti aja, sekarang udah malem,” tolak Dika kembali memejamkan matanya. “Bentar aja, Dika,” pinta wanita itu. “Gue ngantuk banget ini, Sa.” Alysha yang merasa kesal karena keinginannya tidak dituruti hanya mengerucutkan bibirnya. “Ya udah, terserah. Biar kelaparan aja sekalian,” ketus Alysha sambil berbalik memunggungi Dika. Lelaki itu menghela napas lelah dan berusaha keras membuka matanya yang terasa sangat berat. Lalu, ia bergeser mendekati Alysha. “Jam segini mana ada yang jual permen kapas, Sa.” “Tapi, gue penginnya itu.” “Kepiting aja, ya? Permen kapasnya besok aja,” ujar Dika berusaha membujuk. “Mau sekarang.” Lagi-lagi, Dika menghela napas panjang. Ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Di mana ia bisa menemukan permen kapas selarut ini?
“Ya udah, lo tunggu di sini, ya. Gue cari dulu makanannya,” putus Dika yang akhirnya mengalah. Sebuah senyuman terbit di wajah Alysha yang sebelumnya tertekuk. Kepalanya menoleh ke arah Dika sambil mengangguk semangat. Dika beranjak dari tempatnya, mengambil jaket, dan kunci motornya. Lalu, ia melangkah keluar untuk mencari makanan yang Alysha inginkan. Satu jam berlalu, belum ada tanda-tanda Dika kembali. Alysha merasa cemas. Ia khawatir ada sesuatu yang terjadi pada lelaki itu. Ditambah waktu yang sudah melebihi tengah malam yang identik dengan hal-hal negatif. Gadis itu mengambil ponselnya, berusaha menghubungi Dika. Namun, teleponnya tak kunjung mendapat jawaban. Alysha semakin gelisah. Gadis itu mengelus perutnya pelan. Entah kenapa, keinginannya sangat sulit untuk ditolak sampai membuatnya harus memaksa Dika. Namun, jika sudah seperti ini, ia juga yang merasa khawatir. Perasaannya sangat tidak tenang sekarang. Tak berselang lama, ponselnya bergetar, menampilkan nama kontak Dika. Dengan cepat, ia segera mengangkat telepon tersebut. “Halo, Sa.” “Di-Dika. Lo ke mana aja?” “Gue nggak bisa nemuin penjual permen kapas. Gue udah muter-muter, tetep nggak ada. Ganti yang lain aja, ya?” Bukannya menjawab, Alysha justru malah terisak kecil, membuat seseorang yang berada di seberang telepon mendadak panik. “Lo nangis?” “Dika, pulang sekarang.” “Lo kenapa? Lo sakit?”
“Pokoknya, lo buruan pulang.” “Lo nggak kenapa-napa, kan? Ya-ya udah, gue pulang sekarang. Tunggu, oke?” “Iya.” Kemudian, sambungan mereka terputus. Alysha mengusap air mata yang tadi menetes. Tibatiba saja, ia menangis tanpa alasan yang jelas. Alysha semakin bingung dengan dirinya sendiri. Apa karena hormon kehamilan yang membuat emosinya menjadi tidak stabil? Cukup lama ia menunggu, sampai akhirnya sebuah suara deruman motor mulai terdengar dari arah bawah. Alysha menghela napas lega. Lalu, beberapa menit kemudian, pintu kamar terbuka. Dika masuk dengan tergesa-gesa, lengkap dengan ekspresi khawatir. “Lo kenapa?” tanya Dika cemas. “G-gue takut,” cicit Alysha pelan. “Takut kenapa, hm?” “Gue takut lo kenapa-napa. Tadi, gue telepon, nggak lo angkat,” jawabnya polos. Mendengar hal itu, Dika mendesah kecil. Namun, tak lama kemudian, lelaki itu terkekeh geli melihat ekspresi Alysha. “Jadi, lo nangis karena khawatir sama gue?” “Gue nggak tau kenapa gue nangis,” balas Alysha memasang wajah kesal. Merasa tak terima jika lelaki itu menertawakannya. “Ya udah, nggak usah nangis lagi, yang penting sekarang gue nggak kenapa-napa, kan?” ujar Dika menenangkan. “Gue udah beli kepiting yang lo mau. Sekarang lo makan, ya?” Dengan wajah yang berbinar, Alysha mengangguk semangat, sedangkan Dika langsung menyiapkan makanan yang ia beli tadi.
*** Sejak mengetahui tentang kehamilan Alysha, Bunda dan Ayah jadi lebih sering mengunjungi putrinya itu. Seperti saat ini, mereka memilih menghabiskan waktu akhir pekan di kediaman Wijaya. Kini, semuanya tengah berkumpul di ruang keluarga. “Kuliah kamu gimana, Sa? Masih dilanjut atau udah mulai cuti? Inget, lho, kamu jangan terlalu kecapekan,” tanya Bunda pada Alysha. “Untuk sekarang, Sasa masih mau lanjut kuliah. Mungkin, sampai akhir semester ini. Jadi, semester depan, baru Sasa ambil cuti,” sahut gadis itu sambil fokus mengunyah camilannya. Cukup lama mereka berbincang bersama sampai suara bel berbunyi, menginterupsi kegiatan mereka. Mereka saling melempar pandangan bingung. Bertanya-tanya siapa yang bertamu. Lalu dengan sigap, Bi Tuti bergegas membukakan pintu untuk melihat siapa yang datang. Tiba-tiba, Alysha dikejutkan dengan suara pekikan nyaring yang memenuhi ruangan tersebut. Sontak Alysha menoleh ke arah sumber suara. “Kakak cantik!” seru seorang anak laki-laki sambil berlari mendekatinya dengan semangat. Alysha memekik tertahan dan dengan cepat berdiri untuk menghampiri anak laki-laki itu. “Ansel,” panggilnya tak kalah senang. Anak laki-laki itu berhamburan ke dalam pelukan Alysha, menyalurkan kerinduan yang sudah lama terpendam. Bola mata Ansel membulat saat melihat Dika sekarang sudah berdiri tepat di belakang Alysha. Setelah pelukan itu terlepas, Ansel segera menghampiri Dika dengan raut wajah bahagia. Alysha menggulirkan perhatiannya pada orangtua Ansel yang baru saja masuk. Ia tersenyum ramah sembari menyapa Diana dan Jordi, lalu mengajak keduanya untuk ikut bergabung bersama orangtua dan keluarganya. “Jadi, sekarang Ansel udah bener-bener sembuh?” tanya Alysha tak percaya.
“Kalau untuk itu, sampai sekarang, dokter juga belum bisa memastikan karena sel kanker itu bisa kembali muncul kapan aja. Tapi, untuk sekarang, pertumbuhan kanker itu masih bisa dikendalikan. Jadi, kondisi Ansel udah mulai stabil,” ujar Diana menjelaskan. Alysha mengangguk paham. “Kakak cantik, emang bener kata Kak Bro, Kakak cantik mau punya adik bayi?” tanya Ansel polos. Alysha melirik Dika sekilas, lalu kembali mengalihkan perhatiannya pada Ansel dan mengangguk membenarkan. “Yeay! Jadi, sebentar lagi, Ansel bisa jadi kakak?” seru anak laki-laki itu senang, membuat para orang dewasa saling memandang satu sama lain, sampai akhirnya tertawa bersama melihat antusiasme Ansel. Tak lupa dengan si kecil Daniel yang ikut bersorak gembira, menambah kegemasan orang-orang yang melihatnya. “Kakak!” ucap Daniel senang. “Ansel kakak pertama, kamu jadi kakak kedua aja, ya,” kata Ansel pada Daniel. Alysha terkekeh geli. “Oh, iya, Ansel lupa,” ujar anak laki-laki itu segera berlari menuju barang-barang yang tadi dibawa orangtuanya. Ia mengambil sebuah kotak yang lumayan besar dan membawanya pada Alysha. “Kakak cantik, lihat, Lilipo udah gede sekarang,” kata Ansel sambil memperlihatkan seekor kura-kura yang berada di dalam kotak tersebut. Mata Alysha berbinar. Ia mengambil alih kotak tersebut dan membuka penutupnya. Mengelus tempurung kura-kura itu dengan penuh kerinduan. Ansel benar. Bertahun-tahun tak bertemu, Lilipo kini sudah lebih besar dari terakhir kali ia melihatnya. Daniel segera menghampiri Alysha dengan bersemangat. “Mau kura-kura,” pintanya dengan menengadahkan kedua tangannya.
Alysha tersenyum, lalu memberikan kotak tersebut pada Daniel. Akhirnya, Ansel dan Daniel memilih fokus bermain dengan Lilipo, sem*ntara para orangtua mereka asyik mengobrol. Melihat interaksi Daniel dan Ansel, membuat Alysha merasa gemas. Tak jarang ia dibuat tertawa geli dengan tingkah keduanya. Walaupun mereka baru saja bertemu, kedua anak laki-laki itu dengan cepat mengakrabkan diri. sem*ntara Dika, yang sejak tadi hanya diam memperhatikan Alysha, kini ikut tersenyum melihat wajah bahagia gadis itu. Dengan cepat, ia menggeser posisinya lebih dekat dengan Alysha. Lalu, memeluk wanita itu dari belakang, menempatkan dagunya di bahu Alysha dengan tangannya yang mengelus lembut perut Alysha yang mulai sedikit membuncit. “Kira-kira, anak kita nanti kayak mereka nggak?” celetuk Dika tepat di samping telinga Alysha, membuat wanita itu sedikit bergidik. “Semoga,” sahut Alysha penuh harap. “Tapi, kalau cewek gimana? Lo siap berbagi tempat? Nggak jadi perempuan satu-satunya lagi?” tanya Dika dengan nada menggoda. “Ck, apaan, sih,” balas Alysha jengah. Dika yang melihat rona merah di pipi Alysha, hanya terkekeh kecil. Lalu, secara tiba-tiba, ia mengecup pipi itu dengan cepat. Alysha terkejut dan langsung menghadiahinya dengan sebuah sikutan yang mampu membuat korbannya meringis kesakitan. “Sakit, Sa,” protes lelaki itu. “Biarin,” ketus Alysha. Dika langsung merendahkan tubuhnya, membuat ia berhadapan dengan perut Alysha. Ia berbisik pelan. “Mama kamu galak,” ucapnya mengadu. Alysha langsung menyentil kepala Dika sambil memasang wajah kesalnya, membuat Dika meringis takut. “Tapi, cantik kalau lagi senyum,” ujar Dika melanjutkan ucapannya.
Lagi-lagi, Alysha dibuat tersipu oleh perkataan lelaki itu. Melihat Alysha yang salah tingkah, membuat Dika kembali memeluk wanita itu gemas. sem*ntara Alysha, memilih menyandarkan tubuhnya pada Dika sambil ikut menyentuh telapak tangan Dika yang sedang mengelus permukaan perutnya. Dalam hati, ia berharap kebahagiaan seperti ini selalu menghampiri kehidupan keluarga kecil mereka di masa depan. ***